Pernahkah Anda melihat baliho besar berisi wajah Jokowi dipasang di tempat strategis?
Tidak pernah. Pernahkah Anda melihat wajah Jokowi dalam iklan kampanye televisi bicara tentang programnya dan partainya? Tidak pernah juga. Tapi kenapa Anda masih kenal Jokowi dan berasa akrab dengannya?
Salah satu yang saya kagumi dari Jokowi sejak ia pertama kali dilantik adalah dia membangun budaya baru dalam memperkenalkan siapa dirinya.
Dia bukan model SBY dan partai Demokratnya yang menghabiskan uang miliaran rupiah untuk iklan televisi dan baliho “katakan tidak pada korupsi”. Bahkan anaknya, AHY, saja sudah membuang uang lebih dari 70 miliar rupiah dengan menampilkan wajah di baliho untuk memperkenalkan diri.
Jokowi tidak memainkan iklan sebagai penyampai pesannya. Dia tahu, iklan itu mahal dan belum tentu efektif sebagai penyampai pesan. Jokowi memainkan model kampanye yang jauh lebih murah dan terbukti bekerja, yaitu dengan prestasi dan citra diri melalui benda-benda yang akrab di masyarakat seperti jaket, sneakers, motor besar dan sepeda.
Model blusukan Jokowi ke banyak daerah terbukti menaikkan namanya. Ia menjadi sorotan bagi media mainstream dan media sosial. Jokowi pandai mengelola sistem komunikasi bagi dirinya dan pencapaian kerjanya.
Apa yang dilakukan Jokowi menaikkan standar dalam melakukan kampanye bertahap, bukan hanya pada waktu mendekati pilpres saja. Dan yang dia lakukan diikuti banyak tokoh seperti Ahok bahkan Zumi Zola artis yang sempat menjadi Gubernur Jambi, dengan marah-marah di sebuah rumah sakit daerah.
Tetapi Jokowi tetap Jokowi. Ia sadar bahwa apa yang ia lakukan adalah maraton komunikasi. Karena itu ia mengatur napas dengan baik dan terus melancarkan ide-ide kreatif yang menjadi perbincangan masyarakat banyak. Inilah yang menarik.
Dalam buku Al Ries, The fall of Advertising and the Rise of PR dikatakan bahwa iklan sudah tidak membangun pengaruh dalam mengambil keputusan. Kebanyakan orang sudah tahu bahwa iklan hanya menampilkan yang bagus-bagus saja dan menyembunyikan keburukan.
Dalam hal ini Jokowi mengerti betul bahwa ia bukan hanya Presiden dan pelayan masyarakat, tetapi juga seorang komunikator, seorang story teller, seorang yang mengerti bagaimana bercakap dengan rakyat.
Ini yang tidak dipunyai Prabowo sehingga ia sering blunder dalam setiap pidatonya. Prabowo yang sejak kecil “terkurung” dalam gedung yang besar jarang berkomunikasi dengan masyarakat sehingga ketika ia harus muncul, ia gagap.
Prabowo sulit meniru Jokowi karena ia tidak punya “rasa” dalam memainkan perannya sebagai pelayan. Ia adalah raja dan sebagai raja, ia yang harus dilayani rakyat dan bukan sebaliknya.